Long Distance Relationship: Zona Oranye-Zona Merah

RG
2 min readAug 23, 2020

Ketika seorang bucin berkontemplasi~

Selamat datang di tulisan pertama saya di Medium. Di platform ini saya akan menuliskan opini-opini saya, atau cerita-cerita yang ingin saya bagikan. Untuk yang ini jujur, saya tidak tahu pasti tulisan ini berisi curhatan atau opini. Mungkin teman-teman bisa tentukan sendiri~

Sebelum adanya pandemi Covid-19, saya yang masih berstatus mahasiswa di Yogyakarta yang sedang sibuk mengurus kelulusan. Sedangkan pasangan saya adalah karyawan di Jakarta. Yep, kami menjalin hubungan jarak jauh dari awal pertemuan. Mimpi saya pada saat itu ya pasti udah ketebak, ingin segera lulus dan mencari pekerjaan di Ibu Kota agar bisa bertemu dengan kekasih hati. Tiba-tiba virus ini mulai meledak di Indonesia lalu singkat cerita saya harus kembali ke Padang, kota asal saya pada akhir bulan Maret, sedangkan pasangan saya masih terperangkap di Jakarta sejak saat itu.

Komunikasi tetap berjalan dengan lancar, permasalahan-permasalahan umum yang kita bayangkan saat menjalin hubungan jarak jauh pun terbilang sedikit,namun digantikan oleh konflik-konflik baru. Saya, di Padang yang berstatus Zona Oranye, dan dia di Jakarta yang berstatus Zona Merah membuat masing-masing dari kami memiliki perspektif berbeda terhadap pandemi ini.

Yang saya pelajari dari LDR Covid-19 ini adalah saya belajar berempati dengan Zona Merah karena pasangan saya ada di sana. Apalagi saat seseorang dari kantornya dinyatakan positif Covid-19, saya merasa khawatir dan cemas ketika dia harus melakukan tes 2 kali sejak saat itu, apalagi dari awal memang dia tidak pernah WFH. Di sisi lain, pasangan saya geram dengan kebiasaan saya yang agak nyantai dengan pandemi ini, saya sedikit mencari pembenaran karena saya melihat di daerah saya yang bukan zona merah, penduduknya sudah santai-santai saja menghadapi situasi pandemik ini. Seringkali konflik kami tersulut ketika saya terkesan menggampangkan kondisi yang ada, sampai di satu momen kami membicarakan ini dan saya mulai memahami sudut pandang dia, setelah itu memang saya berhati-hati, mulai memperbanyak kegiatan yang lebih produktif di rumah dan mengurangi kegiatan di luar jika tidak terlalu penting demi menghindari konflik dan lama-lama saya keasyikan sendiri mencari kesibukan di rumah. Tiba-tiba saya kepikiran , kalau saja kita yang berada di luar zona merah tetap menjalani protokol-protokol kesehatan layaknya teman-teman yang masih berada di zona merah untuk tetap di rumah selama tidak ada kepentingan. Minimal untuk menghindari keramaian meskipun kebijakan PSBB sudah mulai dilonggarkan, sampai kita benar-benar berhasil memutus rantai penularan virus ini untuk mencegah bertambahnya zona merah di negara kita. Karena pada dasarnya, kita semua ingin kembali beraktivitas normal lagi, maka kita semua harus satu pemikiran, satu tujuan.

Mungkin kita harus bisa berempati terhadap teman-teman yang berada di zona merah, karena kita pasti tidak mau kalau sampai daerah kita berubah dari zona kuning menjadi zona oranye atau bahkan merah (lagi), karena kita yang merasa jumawa lalu melupakan protokol-protokol kesehatan yang dulu pernah jadi kebiasaan kita?

Mungkin pandemi ini ujian terhadap nilai gotong royong dan peribahasa berat sama dipikul ringan sama dijinjing yang menjadi kearifan lokal bangsa kita ini. Benar-benar kita yakini atau sebatas hafalan di bangku sekolah saja?

--

--

RG

Born a wordsmith and here are my musings through the power of words